Pages

Minggu, 01 Juli 2012

Penghargaan Terhadap Hidup

Bima berjalan menyusuri jalanan menuju rumah. Hatinya sangat kacau. Betapa tidak. Ia dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional SMA. Dengan demikian, cita-citanya tidak akan tercapai dengan mulus sesuai dengan apa yang ia harapkan sebelumnya. Ia pun tak bisa membayangkan betapa malunya ia, bagaimana pendapat orang tuanya nanti. Sungguh. Ia tak akan sanggup melihat kekecewaan dari raut wajah kedua orang tuanya.
Ia berhenti di suatu jembatan. Ia menatap sungai yang begitu besarnya. Ia ingin terjun ke sungai itu untuk mengakhiri hidupnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai memberanikan diri.
"Abang mo ngapain?" tiba-tiba seorang anak kecil berpakaian lusuh menghapirinya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
"Abang... Abang mau mati aja."
"Idihh. Kenapa?"
"Abang malu sama diri abang. Abang nggak lulus ujian nasional." Ia pun menundukkan kepalanya. Anak itu hanya tertawa.
"Sayang kali bang. Abang mending nggak lulus tapi bisa sekolah. Saya? Sekolah kagak, kerja iya."
Bima merasa malu kepada anak kecil itu. Ia merasa terlalu emosional dan tidak bisa mengendalikan diri. Tiba-tiba anak itu menarik tangan Bima dan mengajaknya pergi ke suatu tempat.
"Bang, kalau bukan karna temen saya, saya udah mati dari dulu."
"Emang kenapa?"
" Saya ngerasa hidup saya nggak adil. Tadinya saya sekolah tapi karna bapak dipecat, saya nggak bisa sekolah lagi. Tapi saya bisa ngadepin hidup saya karna temen saya."
Mereka pun melangkah semakin dekat ke tempat yang dituju anak kecil itu. Tempat Pemakaman Umum. Mereka tiba di suatu nisan yang sudah lusuh. Banyak rumput liar tumbuh di sekitarnya.
"Ini makam temen saya bang. Dulu satu sekolah sama saya. Anaknya pinter banget. Juara umum!"
Bima hanya diam mendengarkan cerita anak itu.
"Dulu temen saya ini kaya bang, pinter, ganteng, baik pula. Semua dia punya. Satu yang dia nggak punya bang."
"Apa?"
"Kesempatan untuk hidup lebih lama. Dia nggak bisa ngerasain lebih banyak pengalaman kayak abang dan saya."
Bima hanya diam. Kata-kata anak kecil itu terus terekam di hatinya. Ia pun pulang menuju rumahnya. Hatinya tetap sedih. Namun ia tetap bersyukur untuk kesempatan hidup yang diberikan kepadanya.


by: Agnes Listyanakristi Prabawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar